Selasa, 28 Oktober 2008

PERSOALAN SERTIFIKASI GURU


Author: Ahmad Makki. 17 October 2008 : 4:50 pm.
Belajar Menulis Jarak Jauh | Info Lomba Penulisan

Program sertifikasi guru yang digelar pemerintah dalam bingkai sertifikat profesi pendidik sejak awal sebenarnya didedikasikan untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional. Sekaligus guru yang telah mendapat sertifikat itu secara otomatis juga akan mendapat tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok.

Sebagai bentuk jawaban kongkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.

Pada peringatan Hari Guru Internasional tanggal 5 Oktober lalu, bukannya kado istimewa yang diterimanya namun nestapa yang kembali harus diterima oleh mereka para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini. Hal itu karena dari sekian guru yang telah lulus program sertifikasi sejak tahun lalu tidak satupun dari mereka yang hari ini telah menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah selama ini.

Bila ditelesuri lebih jauh pula, dalam perjalanan program sertifikasi selama ini, pemerintah sebenarnya telah lebih menunjukkan ketidak-profesionalnnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program sertifikasi ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru peserta uji sertifikasi.

Kerja keras para guru untuk mendapatkan sertifikat profesi pendidik seharusnya pada akhirnya memang berujung pada dua kenyataan; antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.

Namun, sebenarnya pada akhirnya tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Di satu sisi pemerintah sudah menetapan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadikan pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.

Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulu, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.

Uji sertifikasi memang seharusnya dimulai dari pemantapan sistem penilaiannya. Harus ada simulasi dengan acuan kompetensi yang dibutuhkan. Portopolio, memang telah menjadi dasar penentuan sebesar apa profesionalitas dan kompetensi guru. Akan tetapi dalam pelaksanannya pun sebenarnya masih harus banyak perbaikan dan ketelitian. Apalagi penyusunan berkas pada porpopolio juga dipahami bersama sangat rentan adanya rekayasa atau pemalsuan. Penyusunan portopolio juga harus diperhatikan lagi agar benar-benar mencerminkan kinerja guru bukan hanya masalah masa kerja guru.

Mengenai masa kerja, belum tentu guru yang sudah mengajar selama puluhan tahun memiliki kemampuan yang lebih baik dalam proses pembelajaran. Guru-guru muda juga banyak yang memiliki metode dan strategi yang jauh lebih bagus. Karena banyak guru yang telah lama mengajar jika tidak ada pengembangan yang kontinu tentu akan semakin ketinggal informasi tentang pendidikan dalam hal proses pembelajaran.

Pengembangan komptensi guru selama ini seakan masih dilihat dari kaca mata birokrasi dan cenderung meremehkan hal yang berbau akademisi. Sebuah persoalan klasik tentunya bagi para guru di negeri ini. Terbukti hanya untuk pemenuhan portopolio banyak guru yang mengikuti pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar dan ketika lulus langsung berhenti total.

Tuntutan peningakatan mutu pendidikan adalah suatu hal yang niscaya dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sedangkan guru, dimanapun jua dan bagaimanapun jua tetap memiliki kontribusi dan tanggung jawab mendidik anak bangsa. Namun, jangan sampai upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimulai dari peningkatan mutu guru dengan program sertifikasi guru menjadi momok tersendiri dalam dunia pendidikan kita. Kondisi riil di lapangan selama ini membuktikkan tidak banyak berubah dari sebelumnya. Bahkan kesejahteraan guru pun juga tidak beranjak naik sedikitpun sebagaimana yang diharapkan selama ini.

Kalau memang pemerintah berniat meningkatan gaji guru sebenarnya dapat saja langsung dilakukan tanpa berdalih dengan program “spektakuler” seperti settifikasi ini. Sebab tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, ternyata tidak bisa maksimal hanya dengan uji sertifikasi seperti yang selama ini sedang berlangsung. Pemerintah melalui departemen pendidikan seharusnya harus segera mengevaluasi kembali program-program peningkatan kualitas mutu pendidikan yang ada selama ini. Termasuk pada persoalan program sertifikasi guru ini. Bila tidak, peningkatan kualitas pendidikan di tanah air dengan kucuran anggaran sebesar apapun tentu akan sia-sia belaka.

*) Ahmad Makki Hasan,
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Malang dan Aktif di MP3(Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) Simpul Jatim.

Cermin Islam Cinta Damai


26-December-2007

Kerukunan umat beragama di Indonesia dari dulu hingga kini masih saja diselimuti beragam persoalan. Keyakinan akan kebenaran ajaran agama masing-masing membuat pemeluk agama tidak toleran dan cenderung memaksakan keyakinan kepada pemeluk agama lain. Tak hanya menyangkut kerukunan antarapemeluk agama, tetapi juga pemeluk agama dengan pemerintah. Konsep “Tri Kerukunan” yang pernah ada di Indonesia lahir karena umat beragama yang tidak harmonis dengan pemerintah, terutama zaman kolonial.

Meskipun kini konsep “Tri Kerukunan” dianggap tidak relevan, mengingat hubungan pemerintah dengan umat Islam relatif tidak masalah—karena umat Islam sebagian besar tidak lagi mempertentangkan asas Pancasila, namun kerukunan antarumat beragama tetap harus dibina. Umat Islam pun dituntut agar lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan agama dan perbedaan mazhab. Karena ajaran Islam sendiri sangat menganjurkan menghargai perbedaan keyakinan, dan penghargaan itu cermin dari Islam yang cinta damai. Berikut penuturan Ketua Harian MUI, Drs. H. Amidhan kepada Reporter CMM, Firman Syah:

Menurut Anda, apa dan bagaimana sebenarnya konsep lama kerukunan antarumat beragama itu?
Konsep lama kerukunan umat beragama, untuk saat ini, menurut saya tidak berlaku lagi. Konsep itu sudah bubar. Artinya, unsur-unsurnya sudah tidak ada lagi. Kerukunan antara pemerintah dengan umat beragama itu lahir karena warisan masa kolonial. Karena umat beragama, terutama umat Islam menentang kolonialisme di Indonesia, selain juga karena pemerintah kolonial melakukan strategi pecah belah. Akibatnya, saat itu tidak ada komunikasi antara umat beragama dengan pemerintah, dalam hal ini kolonial.

Sampai pada Orde Lama, konflik antara pemerintah dengan umat beragama, terutama umat Islam masih terjadi. Karena disusupi oleh komunisme, antara pemerintah dengan umat beragama dianggap berlawanan. Bung Karno berusaha menghubungkan komunikasi pemerintah dengan umat beragama melalui konsep Nasakom. Bung Karno ingin merukunkan nasionalisme, agama, dan komunisme.

Apakah usaha Bung Karno itu berhasil?
Cara-cara yang dilakukan oleh Bung Karno tidak berhasil, karena antara komunis dengan umat beragama pada umumnya, terutama Islam terdapat pertentangan konsep yang luar biasa. Ibarat air dengan minyak, karena komunisme dipahami sebagai ajaran yang atheis. Berbeda dengan umat beragam yang percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua konsep itu tidak mungkin ketemu, walaupun Bung Karno melakukan revisi-revisi bahwa komunisme di Indonesia adalah sosialisme yang diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, Bung Karno tidak mau mengatakan ada atheis.

Bagaimana pandangan Anda terhadap mereka yang hendak mengubah Pancasila menjadi asas Islam?
Umat beragama, khususnya umat Islam tidak setuju Pancasila, terutama asas tunggal. Pak Alamsyah (mantan Menteri Agama) memiliki alasan tentang konsep tri kerukunan. Waktu itu, dia menyatakan umat Islam keliru kalau tidak setuju Pancasila. Karena Pancasila sebenarnya hadiah umat Islam kepada bangsa ini. Karena umat Islamlah yang waktu itu menyetujui adanya Pancasila, sehingga tumbuh kesepakatan yang kemudian dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Waktu itu umat Islam bersedia menghilangkan 7 kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Kata Bung Karno, mengapa umat Islam memusuhi dan melawan Pancasila? Pancasila milik umat Islam sendiri, bahkan dia (umat Islam) yang membuahkan.

Apakah sampai saat ini pertentangan antara pemerintah dan umat Islam masih ada?
Benih-benih pertentangan antara pemerintah dengan umat, masih ada. Tidak bisa dihilangkan begitu saja. Oleh karena itu, (waktu itu) dibentuk tri kerukunan, termasuk antara pemerintah dan umat beragama. Memang yang dimaksud umat beragama pada dasarnya Islam.

Dengan kondisi seperti itu, bisa dikatakan Islam sangat demokratis dan mengenal pluralisme?
Jelas. Jadi, Islam dari namanya saja Islam agama damai, yakni cinta perdamaian. Perdamaian di sini perdamaian yang alami. Alami artinya dicapai dengan cara pembudayaan demokrasi. Anda tahu bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang. Kenapa orang (waktu itu) tertarik Islam? Karena Islam itu sangat manusiawi. Tidak mengenal kasta, tidak mengenal penindasan, suka membantu, dan lain sebagainya. Orang cinta Islam karena prinsip itu. Itulah yang membuat ajaran Islam cepat menyebar.

Selain Islam damai dan demokratis, ajaran Islam tentu saja (mengakui) pluralisme. Karena Islam itu menganut lakum dinukum waliyaddin. Jadi, silakan saja kalau ada orang yang tidak mau memeluk Islam. Bahkan di dalam Islam, ada sebuah hadits yang menyatakan saat “perang” tidak boleh membakar gereja. Artinya, Islam sangat menghargai perbedaan agama atau keyakinan.(CMM)

Menggalang Dialog Menuju Perdamaian


11-February-2008

Umat beragama di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan terkait pluralisme agama dan konflik intern atau antaragama. Kondisi demikian tampaknya semakin menyadarkan kita betapa pentingnya keterlibatan agama-agama dalam memperhatikan dan mengupayakan penyelesaian secara bersama-sama. Keterlibatan agama semacam ini perlu dilakukan mengingat bahwa sebuah keyakinan tidak hanya cukup diikrarkan dan diwujudkan dalam bentuk ritualnya saja, melainkan juga menuntut upaya konkret setiap individu dalam kehidupan sosialnya.

Upaya konkret apa saja yang mesti dilakukan dan prasyarat apa juga yang dibutuhkan dalam upaya tersebut? Membahas hal ini, berikut petikan wawancara dengan pakar pemikiran Islam, DR H M Baharun MA, yang juga sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PBPTI):

Langkah apa saja yang seharusnya dilakukan oleh umat beragama di negeri ini?
Langkah utama yang mesti dilakukan adalah dialog. Ini merupakan satu pilihan yang logis dan etis dengan melibatkan tokoh-tokoh agama. Sejak dahulu, umat memerlukan solusi serius dan mendalam dalam setiap persoalan yang muncul terkait keyakinan atau agama. Selama berabad-abad sejarah interaksi antarumat beragama menunjukkan lebih banyak diwarnai dengan kecurigaan dan permusuhan. Untuk itu, alternatif untuk mewujudkan kerukunan antaragama di antaranya adalah menciptakan dialog antarumat beragama. Sudah saatnya umat beragama meninggalkan cara-cara monolog dan menggantinya dengan cara-cara dialog. Ini merupakan sebuah langkah yang lebih konstruktif.

Agar dialog tersebut dapat berjalan efektif, faktor apa yang juga mesti diperhatikan?
Masing-masing pihak selayaknya bersikap dialogis, memiliki sikap terbuka, saling menghormati, melepaskan segala prasangka, dan bersikap mencari yang baik dari agama lain. Sebab, tujuan dialog bukan untuk peleburan diri, tetapi untuk mencapai saling pengertian dan penghargaan yang lebih baik. Dialog dilakukan bukan hanya sekadar menghindarkan konflik, melainkan juga untuk membicarakan partisipasi agama dalam perubahan masyarakat melalui modernisasi.
Selain itu, masing-masing pihak mesti mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan terkait realitas hidup ini. Dialog seperti itu dimaksudkan agar dapat saling mengenal dan menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan demikian dialog tersebut akan memperkaya wawasan kedua belah pihak guna mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat.

Kendala apa yang kerap dihadapi dalam membangun dialog?
Secara umum ada tiga rintangan yang selalu dihadapi dalam berdialog. Pertama, persoalan bahasa, bahwa agama-agama besar itu berasal dari bahasa yang berbeda-beda, misalnya Islam berasal dari Arab, Kristiani, Ibrani dan Greek, Hindu-Buddha dari bahasa Urdu-India, dan lain-lain. Bahasa asli agama-agama tersebut sulit dipahami antarumat beragama. Kedua, gambaran tentang orang lain yang keliru disebabkan adanya label-label tertentu terhadap agama-agama atau streotipe, dan ketiga nafsu membela diri di mana masing-masing agama mempunyai pengalaman disharmoni dengan agama lain, apalagi pada masing-masing agama terdapat ajaran yang bemuansa eksklusif.

Bagaimana dengan etika dialog yang juga mesti dijaga kaitannya dengan pluralitas masyarakat kita?
Mengingat pentingnya peran etika dalam mencari solusi persoalan, maka hal itu juga merupakan poin yang harus diterapkan dalam berdialog. Di antaranya adalah kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect), prinsip kebebasan beragama (religious freedom), prinsip mau menerima orang lain apa adanya (acceptance), serta berpikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy).
Dan, itulah sebabnya, peserta dialog seharusnya memiliki sikap pluralis, yaitu menghargai dan menghormati adanya agama-agama lain, sikap terbuka. Mereka mesti memahami bahwa keberadaan pihak lain di luar lingkungannya tidak serta merta ditolak, tetapi dihargai dan diperhitungkan keberadaannya. Karena itu, masing-masing pihak dituntut mampu memahami agama secara integral. Selain itu, juga harus ada komitmen penting yang dipegang oleh masing-masing pihak, yaitu toleransi.

Ada anggapan bahwa dialog yang sudah dilakukan selama ini belum dapat memuaskan semua pihak, menurut Anda?
Meskipun dialog yang dibangun selama ini belum dapat memuaskan semua pihak, namun tak dimungkiri melalui dialog-dialog yang dilaksanakan sudah mulai disadari bahwa konflik yang disebabkan persaingan tidak sehat haruslah dihindari karena tak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dan, yang terpenting toleransi merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap penganut agama sebagai modal dasar untuk mencapai kerjasama antarumat beragama. Semua itu semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan harkat manusia sekaligus mengatasi persoalan-persoalan mendasar dan krusial seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan. N /cmm/

Fitna Merobek Pita Toleransi


04-April-2008

Film Fitna karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, menyulut beragam kontroversi. Kecaman pun mengalir, bahkan sejumlah aksi demonstrasi digelar. Republika berkesempatan berbincang dengan Dubes Belanda untuk Indonesia dan Timor Leste, Dr Nikolaos van Dam, di ruang kerjanya, di Jakarta, Kamis (3/4). Peraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam ini mengaku hafal 15 surat dalam Alquran. Ia juga sempat melantunkan penggalan surat Alzalzalah. Muslim Indonesia, katanya, harus banyak mengingat kandungan surat tersebut, terkait maraknya bencana alam. Berikut petikan wawancara dengan van Dam.

Bisa Anda jelaskan latar belakang kebijakan Pemerintah Belanda yang menolak film Fitna karya Geert Wilders?
Di Belanda ada tradisi kebebasan berpendapat, namun tak berarti bisa diterapkan dalam semua hal. Ada batasannya. Ini berarti kebebasan berpendapat itu harus juga menghormati pendapat, kebudayaan, dan agama lain agar semua bisa hidup secara damai.

Sebelum film itu diluncurkan, Pemerintah Belanda menyadari film itu bisa menyebabkan timbulnya masalah, baik di Belanda maupun di luar negeri. Meski saat itu kami belum tahu isi film tersebut karena Geert Wilders tak bersedia mengungkapkannya.

Bila membandingkan film Submission karya Theo van Gogh dengan Fitna karya Wilders, Pemerintah Belanda menyikapinya secara berbeda. Mengapa?
Pertama, baik Submission maupun Fitna bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam. Perbedaannya, pembuat Fitna adalah anggota parlemen yang menggunakan film ini untuk meraih dukungan politik dalam negeri. Jadi, itu lebih banyak menentang Islam, Alquran, serta surat tertentu dalam ayat Alquran.

Sedangkan Submission menceritakan mengenai kesulitan anggota masyarakat Islam atau dalam keluarga di mana perempuan ditempatkan secara rendah. Khususnya penghinaan itu lewat penggambaran ayat Alquran ditulis di atas badan seorang perempuan. Dalam Fitna, secara umum menghinakan Islam dan menggambarkan bahwa Islam mengajak pada kekerasan. Tapi, Pemerintah Belanda sebagian besar menolak pendapat bahwa Islam menyebabkan kekerasan seperti serangan WTC atau bom Madrid.

Dalam setiap masyarakat ada ekstremis, baik di masyarakat Masehi (Kristen--Red), Islam, Budha, dan masyarakat lain di seluruh dunia. Sebaliknya, ada pula kelompok yang moderat. Namun yang biasa terjadi, ada individu yang memiliki pendapat mengenai suatu agama.
Sebetulnya Pemerintah, sebagian besar parlemen, kelompok masyarakat yang penting, maupun media Belanda berada pada pihak yang sama dengan masyarakat Indonesia.

Sudah berapa kali unjuk rasa terhadap Kedubes Belanda di Jakarta dilakukan?
Ada beberapa unjuk rasa di depan Kedubes Belanda di Jakarta, juga Konjen Belanda di Surabaya dan Medan. Kalau mereka memberikan pesan kepada Pemerintah Belanda, kami akan menyampaikannya. Tapi, dalam kasus film Fitna ini, pesan harus disampaikan kepada kelompok kecil sekali yang memang bertanggung jawab atas publikasi film Fitna ini, yaitu Wilders dan partainya (Freedom Party).

Namun, sebenarnya mereka berunjuk rasa terhadap pihak yang memiliki pendapat sama, yaitu kami menolak film itu. Jadi, kalau unjuk rasa diarahkan kepada Pemerintah Belanda sebenarnya itu kurang tepat.

Bagaimana sikap Anda terhadap unjuk rasa tersebut?
Saya berusaha menjelaskan yang sebenarnya terjadi di Belanda. Saya selalu menyukai dialog karena upaya saling membuka diri lebih baik. Lebih baik berdialog daripada mereka berada di luar dinding Kedubes Belanda, sedangkan saya berada di dalam. Namun kami menggarisbawahi, perbedaan pendapat tak bisa menjadi pembenaran adanya kekerasan.

Anda berdialog dalam bahasa Indonesia?
Bahasa Arab. Mereka ada yang menggunakan bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa Inggris, tapi saya selalu menjawabnya dengan bahasa Arab. Bagi saya, bahasa Arab lebih mudah dibanding bahasa Indonesia. Jadi, dalam bahasa Arab itu ada beberapa tingkatan, seperti bahasa sehari-hari, bahasa resmi, dan bahasa yang paling tinggi. Bahasa Alquran itu bahasa yang paling tinggi.

Menurut Anda, apakah keluarnya film Fitna ini akan mengganggu dialog antarkeyakinan yang selama ini didorong Pemerintah Belanda?
Tidak. Semestinya, kita tidak terperangkap oleh film ini. Karena, sebenarnya film ini tak bermanfaat bagi siapa pun. Film ini juga menyebabkan masalah antara pihak berhaluan ekstremis dan moderat. Mungkin pembuat film (Wilders) dan pendukungnya menggambarkan film ini akan memberikan manfaat. Namun, sebagian besar menolak pemikiran Wilders, untuk menghindari konfrontasi dan polarisasi.

Pemerintah Indonesia mencekal Wilders bila datang ke Indonesia, bagaimana pendapat Anda?
Seandainya Pak Wilders bertanya kepada saya, apakah perlu mengunjungi dunia Islam, pertama saya akan menasihati untuk tidak berkunjung ke dunia Islam. Karena, caranya berdialog lebih menekankan cara konfrontasi dan polarisasi. Jadi, lebih baik bagi dia untuk tetap tinggal di Belanda (van Dam pun tersenyum).

Bagaimana popularitas Wilders di Belanda saat ini?
Saya tak bisa membayangkan dengan langkahnya yang negatif, tempatnya di parlemen tak didukung oleh kelompok lain, kecuali oleh partainya sendiri.

Anda fasih berbicara bahasa Arab, sudah berapa lama Anda bertugas di negara-negara Timur Tengah?
Saya sudah 44 tahun. Saya mulai hidup di dunia Arab sejak 1964. Di Lebanon, Suriah, Mesir, Irak, Turki, maupun Libya. Jadi, ada sedikit pengalaman berinteraksi dengan masyarakat Islam.

Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat Islam Indonesia?
Masyarakat Indonesia, baik Muslim dan pemeluk agama lainnya, sangat moderat. Menurut saya, tak tergantung pada agama sendiri, tapi juga adat atau kultur. Karena itu, tak bisa berbicara mengenai Islam moderat dan ekstremis, namun yang lebih tepat adalah orang ekstremis dan moderat.

Bisa Anda ceritakan masyarakat Muslim di Belanda?
Dulu di Belanda, kami tidak bicara mengenai latar belakang agama, apakah Muslim atau bukan. Yang penting bagi kami saat itu adalah identitas dan asal negara mereka seperti Maroko, Turki, atau Suriname. Namun, sekarang agama memainkan peran lebih banyak karena masalah sosial diterjemahkan melalui kanal agama. Meski ini tak ada kaitannya.

Kalau membaca statistik mengenai pengangguran, ada lebih banyak dari Maroko. Namun, itu tidak ada kaitan dengan Islam. Jadi, itu menunjukkan latar belakang lebih menjadi pertimbangan, bukan karena agamanya. Di Belanda ada sekitar 400 masjid, sama saja seperti halnya di negara lain yang memiliki komunitas Muslim. Hanya mungkin yang berbeda soal adzan, tidak seperti di sini.

Oya, ada berapa bahasa yang Anda kuasai?
Lima setengah ... (sambil tertawa). Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, dan yang setengah bahasa Indonesia ....

Apa hobi yang Anda lakukan selama di Indonesia?
Saya senang sekali berjalan-jalan ke daerah dengan pemandangan yang indah seperti Puncak. Sayangnya, sering ada masalah dengan kemacetan. Selama di Indonesia saya sudah mengunjungi 24 daerah dari Sabang sampai Jayapura. Kalau setiap hari saya mengunjungi satu pulau di Indonesia, maka baru akan selesai dalam waktu 49 tahun.

Anda suka makanan Indonesia?
Ya, saya suka sekali. Malah lebih suka dibanding makanan Belanda. Makanan yang saya sukai sate, nasi goreng, juga nasi rames. Saya suka sambal terasi, apalagi dimakan dengan kerupuk. fer/yyn

Sumber: Republika, 4 April 2008

Pemimpin Harus Mendamaikan Dunia


02-July-2008

Sejarah umat manusia kerap diwarnai lembaran-lembaran peperangan demi peperangan. Pertikaian antara satu kaum dengan kaum yang lain telah mengurbankan ribuan nyawa manusia. Kenyataan pahit seperti itu seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga menuju masa depan yang lebih aman dan damai. Menurut DR Muhammad Luthfi Zuhdi, Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, kekerasan tak ada hubungannya dengan agama dan budaya tertentu. Akar kekerasan global sesungguhnya lebih disebabkan oleh ketidakadilan global dan kesenjangan ekonomi yang mendalam. Di samping itu, negara-negara produsen senjata juga turut menjadi pemicu kekerasan global.

Bagaimana menciptakan perdamaian dunia? Mungkinkah pertikaian-pertikaian dihentikan di masa-masa mendatang? Membahas hal ini, berikut kutipan wawancara CMM dengan M Luthfi Zuhdi, yang memperoleh gelar doktornya dari Jordan ini:

Upaya apa yang seharusnya ditempuh guna menciptakan perdamaian dunia sekarang ini?
Kita, kini hidup dalam kondisi yang sangat pelik. Mengingat berbagai persoalan yang kompleks di tingkat dunia, ataupun negara-negara berkembang, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk membangun perdamaian dunia. Pertama, mengurangi intervensi terhadap negara-negara lain, apalagi intervensi yang menyelipkan kepentingan politik. Jika kita simak sejarah, Perang Dunia I dan II terjadi karena dimotivasi oleh sugesti politik. Mereka ingin menjadi yang terkuat di kalangan negara-negara dunia sehingga kolonisasi ke berbagai negara menimbulkan permasalahan baru. Karena itu, gagasan atau cita-cita mewujudkan politik perdamaian bagi masa depan umat manusia agar tatanan kehidupan semakin hari tidak semakin terpuruk, harus terus didengungkan.

Kedua, visi misi PBB sebagai lembaga terbesar di dunia mesti disegarkan kembali. Lembaga dunia ini harus tidak menjadi lembaga yang ditunggangi oleh kepentingan negara-negara tertentu, apalagi diperalat untuk mencapai kepentingan negara adi kuasa. Seluruh negara-negara di dunia seyogianya bersatu dalam satu prinsip membangun masa depan yang cerah bagi masyarakat sipil. Mereka harus dibebaskan dari penindasan, keterbelakangan dan kemiskinan, baik fisik maupun mental.

Tetapi, bukankah semangat mengalahkan yang lain selalu muncul di antara bangsa-bangsa di dunia ini?
Kehidupan kita, umat manusia di dunia ini pada hakikatnya bukanlah persoalan kalah dan menang. Bukan pula untuk mengadu kekuatan mencapai kekuasaan demi kepuasan diri sendiri atau kelompok. Kehidupan kita adalah untuk memperluas perdamaian dan toleransi antar-sesama manusia, agar tercipta suasana harmonis yang menyejahterakan. Tentu, kita boleh berbeda gagasan, agama, budaya, dan negara, tetapi kita tetap dituntut bisa menghargai perbedaan dan meningkatkan solidaritas antar-sesama. Sebab, dari sinilah kita akan dapat menjaga kesejahteraan hidup ini.

Sungguh indah ilustrasi yang ditulis penyair Jalaluddin Rumi lewat puisinya. Rumi menyadari bahwa hidup bukanlah keniscayaan, tetapi setiap manusia diupayakan mampu membawa mataharinya sendiri agar dapat menerangi orang lain dengan kasih sayangnya. Orang lain bukanlah musuh yang harus dienyahkan, melainkan sebagai saingan untuk berkompetisi secara sehat, berkreasi yang lebih edukatif, konstruktif, dan kontributif.

Negara-negara besar juga dinilai turut berperan dalam memicu terjadi kekerasan, pandangan Anda?
Kebijakan luar negeri negara adi daya yang selalu berusaha mengontrol Timur Tengah, bisa dikatakan turut menjadi pemicu. Kondisi itu tidak mereka sikapi dengan langkah-langkah politik, tetapi mengalihkannya menjadi masalah agama. Nah, inilah yang semakin membuat rumit persoalan yang berkembang dan sulit dipecahkan.

Mereka juga menilai kekerasan yang dilakukan negara negara besar menjadi pemicu kekerasan global. Selain itu, globalisasi memunculkan banyak marginalisasi, perasaan keterasingan, terpinggirkan yang kemudian melahirkan bentuk bentuk kekerasan baru yang lain.

Faktor apa saja yang menjadi penguat cita-cita mewujudkan perdamaian?
Perkembangan zaman kini semakin maju. Indikasinya, tehnologi informasi berkembang pesat, jumlah ilmuan kian hari kian bertambah. Nah, kondisi demikian tentu diharapkan mampu menciptakan perdamaian di tingkat dunia, bukan menambah anarkisme dan agresivitas di berbagai lini kehidupan.

Forum Perdamaian Dunia pekan lalu mencoba membahas akar masalah kekerasan global dan mencari solusinya. Seberapa efektif akan memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia?
Saya percaya forum besar dan berskala internasional ini akan mampu mengkristalisasikan masalah-masalah kekerasan dan masalah perbedaan antar-agama. Para tokoh dunia tersebut berkesempatan sharing dan berbagi untuk menyatukan pemahaman mereka. Kita juga berharap mereka mampu memunculkan kepedulian masing-masing – bukan mengedepankan kepentingan sendiri meski menginjak yang lain – sehingga tujuan bersama teruwujudnya sebuah kehidupan yang harmonis benar-benar dapat direalisasikan.(CMM)

Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf*

Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf*

* Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya Haqiqat Ash Shufiyyah (hal.18-21), dengan sedikit perubahan.

Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:

Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.

Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):

Maha suci (Allah) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan

rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus

Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya

dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum

Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya

seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata

Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:

Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku

kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad

Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia

Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami

Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).

Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) -maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang bernama Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.

Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal.43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:

Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba

duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?

Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan

Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!

Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”.

Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.

Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihis salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:

(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!

dan kepada Allah kembalilah!

(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)

Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186)

Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?! (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).

Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: … Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid.

Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, ‘membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).

Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla)” (Ibid, 4/83).

Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali (?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124)

Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan di antara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130)

Penutup

Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini -na’udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْأَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran: 164).

Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث

Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HR. Bukhari 1/175, Fathul Bari dan Muslim no. 2282).

Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.

***

Hakikat Tasawuf (2)

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*

*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan

Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut.

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja -sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.

Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.

Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)

Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).

Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.

Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:

Kedudukan para Nabi di alam Barzakh

Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali

Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).

Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.

Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.

Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu),dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.

Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).

Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…

Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)… yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).

Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.

Hakikat Tasawuf (1)

Pendahuluan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala

Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).

Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “… Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)

Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”

Semoga Allah ‘azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.

Definisi Tasawuf/Sufi

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).

Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).

Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).

Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).

Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)