Selasa, 21 Oktober 2008

ciptaan allah


Blog Entry
Jul 14, '08 12:14 PM
for everyone

MAKHLUK ANGIN

Ilmuwan menjelaskan bahwa angin adalah udara yang bergerak karena adanya rotasi bumi dan perbedaan tekanan udara. Sebenarnya angin adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT seperti juga makhluk-makhluk Allah lainnya yang tidak kasat mata seperti malaikat atau jin. Selain oleh sebab-sebab ilmiah yang telah diterangkan oleh ilmuwan, pada dasarnya mereka juga dapat bergerak sendiri dan bertambah jumlahnya. Hanya saja dalam hal bertambahnya bukan dengan cara beranak seperti halnya jin tetapi terjadi langsung dengan kehendakNya.

Secara garis besar, Allah SWT telah menerangkan bahwa makhluk angin terbagi atas angin yang baik (manfaatnya) dan angin yang buruk (akibatnya). Perbuatan makhluk ini yang baik atau buruk tidak dikenakan perhitungan pertanggungjawaban seperti halnya terhadap jin. Perihal angin baik misalnya seperti yang Allah uraikan di QS.7:57, yaitu tentang angin yang membawa awan mendung ke daerah yang tandus untuk menurunkan hujan atau di QS.15:22 tentang angin yang membantu penyerbukan tanaman. Kelak menjelang kiamat, ada juga angin yang muncul untuk mematikan kaum muslimin dengan cara lembut (HR. Muslim Bab Dzikru Dajjal 18:70). Warna aura angin baik adalah putih bersih atau cenderung bening.

Sedangkan angin buruk ada beberapa jenis tetapi bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu yang besar dan kecil. Angin ribut (hurricane), angin puyuh (tornado) dan badai tropis (typhoon) adalah contoh kelompok angin buruk yang besar.

Selain itu juga ada angin besar lain yang Allah datangkan sebagai azab, misalnya pada zaman Nabi Hud as, yaitu munculnya angin yang sangat kencang selama tujuh malam delapan hari berturut-turut yang memusnahkan kaum ‘Aad (QS.69:6-7). Pada zaman Nabi Shaleh as, selain terjadi gempa bumi juga datang angin panas yang memanggang kaum Tsamud hingga binasa. Kemudian pada zaman Nabi Luth as, diturunkan angin kencang disertai batu-batu yang membinasakan kaum Sodom. Angin yang datang pada kaum Sodom ini termasuk sangat jarang terjadi, karena berasal dari neraka dan didahului oleh turunnya tiga malaikat sekaligus untuk memberi khabar peringatan kepada Nabi Luth as dan pamannya, Nabi Ibrahim as. Pada zaman Nabi Musa as, muncul angin hitam pekat yang membuat rakyat Mesir dibawah Fir’aun yang ingkar (QS.7:133) menjadi keracunan dan kulit melepuh, selain itu juga mengakibatkan kematian pada setiap anak pertama yang lahir dari keluarga kafir pada saat itu. Kelak, menjelang kiamat, angin hitam sangat pekat ini (ghomamah) juga akan datang kembali bersama munculnya Dajjal al-masih. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Allah SWT juga mengirimkan angin kencang untuk membantu mengalahkan pasukan Al Ahzab (sekutu) yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak dari pasukan muslimin (QS.33:09).

Disamping yang besar, juga ada kelompok angin buruk yang kecil. Terbagi atas dua jenis yang seluruhnya dapat mengganggu kesehatan manusia dan dikenal sebagai serangan angin duduk yaitu,

:: Angin Hitam Kecil :: Yaitu angin yang warna auranya hitam. Wujudnya seperti spiral yang berputar-putar dengan tinggi berkisar 1,5 meter (dari ujung atas ke ujung bawah). Datang dari bumi (bawah) menuju ke arah bagian dada manusia sampai lambung atas. Angin ini berhenti di bagian ini sehingga mengakibatkan gangguan pada organ-organ tubuh di dalamnya, terutama jantung. Ahli medis umumnya menyebut gangguan ini sebagai sindrom serangan jantung koroner akut (SSJKA) yang dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 10-15 menit sejak awal serangan jika tidak segera ditangani secara cepat dan tepat. Karena gangguan Angin Hitam ini berpotensi menghambat atau menghentikan denyut jantung maka bagi yang terkena tidak boleh ditidurkan atau diistirahatkan tapi justru harus aktif bergerak. Penyapuan dan penyaluran energi hangat di bagian dada akan sangat membantu agar Angin Hitam ini dapat segera keluar dari badan yang dikenai. Empat waktu yang Allah izinkan bagi angin ini untuk “mengganggu” tubuh manusia adalah sekitar pk. 03:00 pagi, pk 11:00 siang, pk 15:00 sore dan pk 23:00 malam. Terjadi terutama sewaktu sedang berada di alam terbuka / diluar rumah.

:: Angin Merah Kecil :: Yaitu angin yang warna auranya merah. Wujudnya seperti gumpalan yang meliuk-liuk dengan tinggi lebih rendah daripada Angin Hitam Kecil. Datang dari bumi (bawah) menuju ke arah bagian pinggang manusia. Yang terkena akan merasa tiba-tiba sakit pinggang yang menusuk. Atau paling ringan merasa seperti ingin kencing tetapi tidak keluar air kencing (anyang-anyangan). Ahli medis mungkin akan menggolongkannya sebagai Fibromyalgia (kekakuan otot dan tendon) atau Keseleo Otot. Penyapuan dan penyaluran energi hangat di bagian seputar pinggang akan sangat membantu agar Angin Merah ini dapat segera keluar dari badan yang dikenai. Dua waktu yang Allah izinkan bagi angin ini untuk dapat masuk ke tubuh manusia adalah sekitar pk. 09:00 pagi dan pk 21:00 malam.

Angin biasa juga kadangkala dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia berupa gejala yang sering disebut sebagai masuk angin. Umumnya dapat ditangani dengan mengerik badan (kerokan, gua sha), pemijitan (shiatsu, tui na) atau bekam kering selain dapat juga dengan penyapuan dan penyaluran energi hangat terutama di sekitar tengkuk. Angin biasa ini masuk ke badan melalui bagian-bagian yang basah atau lembab misalnya karena keringat atau terkena hujan.

Dahulu, Allah SWT telah memberikan keistimewaan kepada Nabi Nuh as dan juga kemudian kepada Nabi Sulaiman as untuk menundukkan angin (QS.21:81) sehingga untuk melindungi diri dari gangguan makhluk angin dapat memohon kepada Allah SWT dengan membaca shalawat untuk Nabi tersebut seperti “Salaamun ‘alaa Nuuhin fil ‘aalamiin” (QS.37:79). Di luar masa kedua Nabi tersebut, Allah SWT menugaskan Nabi Khidr as untuk menguasai angin dan putaran air. WalLahu a’lamu bil-shawab.

PERIODISASI GEOLOGI & PERADABAN BUMI


Jul 14, '08 12:17 PM
for everyone

PERIODESASI GEOLOGI BUMI 1

Para ahli bumi dan akademisi yang terkait pada umumnya membagi periode geologi bumi sebagai berikut,

4,5 milyar tahun yang lalu Terbentuknya batuan tertua di bumi
3,9 milyar - 540 juta tahun yang lalu Masa Pre-cambrian
540 juta - 245 juta tahun yang lalu Masa Paleozoic
245 juta - 66,5 juta tahun yang lalu Masa Mesozoic
66,5 juta - SEKARANG Masa Cenozoic

Masa Paleozoic terdiri atas sub masa:
Cambrian, Ordovician, Silurian dan Devonian.

Masa Mesozoic terdiri atas sub masa:
Carboniferous, Permian, Triassic, Jurassic dan Cretaceous.

Adapun Masa Cenozoic dibagi menjadi,


Tertier :

66,4 juta - 57,8 juta tahun yang lalu Masa Palaeocene
57,8 juta - 36,6 juta tahun yang lalu Masa Eocene
36,6 juta - 23,7 juta tahun yang lalu Masa Oligocene
23,7 juta - 5,3 juta tahun yang lalu Masa Miocene
5,3 juta - 1,6 juta tahun yang lalu Masa Pliocene

Quaternary:

1,6 juta - 10.000 tahun yang lalu Masa Pleistocene
10.000 - SEKARANG Masa Holocene

Blog Entry PERIODESASI SEJARAH PENTING DUNIA & TEMUAN ARKEOLOGI 2



Jul 14, '08 12:18 PM
for everyone

PERIODESASI SEJARAH PENTING DUNIA & TEMUAN ARKEOLOGI

2 milyar tahun yang lalu Fosil Reaktor Nuklir Oklo, Gabon
600 juta-300 juta tahun yang lalu Masa hidupnya Trilobite, fosil Antelope Spring’s Footprint
40.000.000 tahun yang lalu Pondaung Man, Myanmar
7.000.000 tahun yang lalu Toumaë - Chad Man, Chad (Central Africa)
1.000.000 tahun yang lalu Java Man (Pithecanthropus erectus), Indonesia
900.000 tahun yang lalu Peking Man, Tiongkok
600.000 tahun yang lalu Lantian Man, Tiongkok
112.000 tahun yang lalu Fosil “Eve’s Footprint”, Afrika Selatan
3.300 S.M Munculnya budaya penulisan di Sumeria
3.100 S.M Berdirinya dinasti I Mesir
3.000 S.M Munculnya Peradaban Yunani Kuno
3.000 S.M Munculnya Peradaban Lembah Indus (Mohenjo-Daro, dll)
2.637 S.M Munculnya sistem kalender Imlek (Sienci)
2.590 S.M Pembangunan Piramid Raksasa Giza
2.400 S.M Berdirinya imperium I Semitik
2.070 S.M Munculnya dinasti I Tiongkok, Dinasti Hsia (Kaisar Kuning)
1.500 S.M Munculnya Kitab Weda/Vida (Hindu), India
1.220 S.M Munculnya Peradaban Olmec, Meksiko
1.100 S.M Munculnya Kitab Kejadian/Perubahan (I-Ching), Tiongkok
1.013 S.M Lahirnya Nabi Daud a.s
973 S.M Lahirnya Nabi Sulaiman a.s
800 S.M Munculnya Peradaban Etruscan, Yunani Kuno
750 S.M Munculnya kekuatan militer Sparta
660 S.M Munculnya agama Shinto (Kami no Michi)
628 S.M Lahirnya Zarathustra (Zoroaster)
623 S.M Lahirnya Siddharta Gautama (Buddha)
604 S.M Lahirnya Nebukhadnezar, Babel/Babylonia
600 S.M Lahirnya Li Erh/Lao Tzu (Tao)
599 S.M Lahirnya Cyrus II the Great (Archaemenia), Persia
551 S.M Lahirnya Kung Chiu (Kung Fu Tze/Congfucius), Tiongkok
510 S.M Lahirnya Parmenides, Yunani Kuno
500 S.M Lahirnya Sun Tzu, Tiongkok
427 S.M Lahirnya Plato, Yunani Kuno
287 S.M Lahirnya Archimedes, Yunani Kuno
250 S.M Munculnya peradaban Maya
221-214 S.M Masa pembangunan Tembok Besar (2.256 km) Tiongkok
102 S.M Lahirnya Julius Caesar
45 S.M Awal penggunaan Sistem Kalender Julian (Julius Caesar)
6 S.M Lahirnya Nabi Isa a.s
1 M Awal Tahun Masehi
216 M Lahirnya Manes (Manichæism), Babylonia
570 M Lahirnya Nabi Muhammad S.A.W
622 M / 1 H Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah/Awal Tahun Hijriah

Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia


(Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)

Oleh: Pupu Saeful Rahmat

Staf Pengajar pada Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Kuningan

Abstrak

Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Masalah sosial.

1. Pendahuluan

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,

Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan

Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.

Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:

  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

4. Penutup

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.

Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.

Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

5. Daftar Pustaka

Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA

Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.

Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN



[JAKARTA] Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan," kata pengamat pendidikan prof Dr HAR Tilaar, kepada Pembaruan, di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Kamis (16/11).

Selain HAR Tilaar, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Yon Sugiono, dan Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Murniati Agustina.

Tilaar menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut," terang Tilaar.

Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.

Hapus Diskriminasi

Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," katanya.

Yon Sugiono menjelaskan, untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.

Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.

Sugiono menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.

"Dari serangkaian implementasi program pengembangan model pendidikan multikultural di Madrasah Pembangunan UIN bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," katanya.

Sugiono menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya saat ini bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif. "Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.

Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.

"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.

Dalam menggagas model ini, Muniarti memaparkan, PKPM Unika Atma Jaya Jakarta melakukan penelitian di 8 sekolah, antara lain, SDN Sunter Agung 03 Pagi, SDN Lebak Bulus 06, SD Andreas, Madrasah Pembangunan UIN Tangerang, dan SD Amanda (SD berbasis agama Budha).

Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," katanya. (Adapated from Suara Pembaruan, 17 November 2006)

[yap/pr-11/2006]

SILSILAH PARA RASUL & NABI


Jul 14, '08 12:19 PM
for everyone

SILSILAH PARA RASUL & NABI
(Dari Nabi Adam a.s sampai dengan Nabi Muhammad SAW)

BERAKHIRNYA PERADABAN MASA LALU


Lantaran-lantaran yang memusnahkan peradaban masa lalu,
a. bencana alam (banjir, angin kencang, gempa bumi, ledakan gunung berapi, hujan meteor)
b. bencana manusia (peperangan, kecelakaan teknologi)
c. bencana wabah penyakit mematikan
d. bencana lainnya (QS 105:1-5, dll)

Contoh kondisi bekas-bekas peradaban masa lalu ketika ditemukan kemudian,

Gambar 1: Tertimbun di bawah tanah

Candi Borobudur, Indonesia

Gambar 2: Tenggelam di dasar laut

Situs Yonaguni di perairan Okinawa, Jepang

QS 14:19 (Ibrahiim),
A lam tara annalLaaha khalaqas samaawaati wal ardha bil haqqi iy yasya’ yudzhibkum wa ya’ti bi khalqin jadiid.
Tidakkah engkau perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya. Jika Dia menghendaki niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti dengan makhluk yang baru.

QS 14:20 (Ibrahim),
Wa maa dzaalika ‘alalLaahi bi ‘aziiz.
Dan tidaklah yang demikian itu sukar bagi Allah.

QS 15:73 (Al Hijr),
Fa akhadzat-humus shaihatu musyriqiin.
Maka mereka dibinasakan oleh suara keras waktu matahari terbit.

QS 15:74 (Al Hijr),
Fa ja’alnaa ‘aaliyahaa saafilahaa wa amtharnaa ‘alaihim hijaaratam min sijjiil.
Maka Kami balikkan yang di atas menjadi di bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang berapi.

QS 16:26 (An Nahl),
Qad makaral ladziina min qablihim fa antalLaahu bun-yaanahum minal qawaa’idi fa kharra ‘alaihimus saqfu min fauqihim wa ataahumul ‘adzaabu min haitsu laa yasy’uruun.
Sungguh orang-orang sebelum mereka telah menipunya maka Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari dasarnya maka jatuhlah atap di atas mereka dan telah datang kepada mereka azab dari tempat yang tidak mereka sadari.

QS 15:04 (Al Hijr),
Wa maa ahlaknaa min qaryatin illaa walahaa kitaabum ma’luum.
Dan Kami tiada membinasakan suatu negri melainkan ada baginya ketentuan yang ditetapkan.

There is no God who truly deserves to be worshipped but Allah alone and Muhammad (p.b.u.h.) is the messenger of Allah.
Para Sufi,
Bumi telah mengalami beberapa kali penghancuran besar yang mengakhiri setiap suatu era periode kehidupan. Allah menciptakan makhluk seperti manusia pada setiap era tersebut. Namun pada era Nabi Adam-lah beserta keturunannya, makhluk manusia diberikan kelebihan daripada makhluk manusia era-era sebelumnya, yang bukan bersifat materi kebendaan, kekayaan dan teknologi tetapi sesungguhnya jauh lebih tinggi dari itu, yaitu ma’rifatulLah. Kehidupan duniawi dan kekhalifahan bani Adam di bumi ini adalah juga yang terakhir. Tidak ada lagi ‘daur ulang’ (setelah kiamat besar yang akan datang). [Mas Mahmud]

Dari ayahanda, Bp. Mahbub Djunaedi, pernah menyampaikan bahwa, telah berlaku beberapa generasi sebelum era penciptaan Nabi Adam a.s beserta para keturunannya. Masing-masing era generasi tersebut dengan generasi Bani Adam sekarang adalah mempunyai bilangan masa yang sama. Era generasi makhluk manusia pertama diciptakan Allah S.W.T seluruhnya adalah mukmin hingga tiba masanya berakhir (kadar). Kemudian berlanjut era penciptaan makhluk manusia yang keseluruhannya ingkar sampai tiba masanya berakhir. Lalu Allah menciptakan Nabi Adam a.s. Keturunannya sebagian beriman dan sebagian yang lain ingkar. [Bang Zainal]

Sifu Falun,
Dari sekian banyak kali peradaban manusia setelah mengalami pukulan yang memusnahkan, hanya menyisakan sedikit orang yang masih bertahan hidup dan menempuh kehidupan primitif, kemudian berangsur-angsur berkembang menjadi jenis manusia baru, memasuki peradaban baru, akhirnya menuju kepunahan lagi, berkembang menjadi sejenis manusia baru lagi, demikianlah mengalami perubahan melalui periode demi periode. [Li Hongzhi]

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN


[JAKARTA] Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan," kata pengamat pendidikan prof Dr HAR Tilaar, kepada Pembaruan, di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Kamis (16/11).

Selain HAR Tilaar, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Yon Sugiono, dan Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Murniati Agustina.

Tilaar menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut," terang Tilaar.

Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.

Hapus Diskriminasi

Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," katanya.

Yon Sugiono menjelaskan, untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.

Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.

Sugiono menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.

"Dari serangkaian implementasi program pengembangan model pendidikan multikultural di Madrasah Pembangunan UIN bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," katanya.

Sugiono menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya saat ini bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif. "Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.

Sementara itu, Kepala Proyek Pengembangan Model Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Sekolah PKPM Unika Atma Jaya Jakarta Muniarti Agustina menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.

"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.

Dalam menggagas model ini, Muniarti memaparkan, PKPM Unika Atma Jaya Jakarta melakukan penelitian di 8 sekolah, antara lain, SDN Sunter Agung 03 Pagi, SDN Lebak Bulus 06, SD Andreas, Madrasah Pembangunan UIN Tangerang, dan SD Amanda (SD berbasis agama Budha).

Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," katanya. (Adapated from Suara Pembaruan, 17 November 2006)

[yap/pr-11/2006]

KOMPONEN–KOMPONEN KURIKULUM PENDIDIKAN


PENDAHULUAN



Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik, terutama terkait dengan upaya membangunsumber daya manusia muslim. Dan sebagaimana dimaklumi bahwa dalam Islam belum terdapat rumusan tentang sistem pendidikan yang baku, melainkan hanya terdapat nilai-nilai moral dan etis yang seharusnya mewarisi sistem pendidikan tersebut. Sebagai contoh, nilai-nilai tersebut terlihat dalam ayat al Qur’an yang pertama kali turun, yaitu ayat 1 s.d. 5 surat al ‘Alaq:

إقرأ باسم ربّك الذى خلق. خلق اللإ نسان من علق. إقرأ وربّك الأكرم. الذى علّم بالقلم. علّم اللإنسان مالم يعلم (العلق: 1-5)

Artinya: “Bacalah dengan (mnyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Pada ayat tersebut paling tidak terdapat 5 komponen pendidikan, yaitu guru (Allah), murid (Muhammad SAW), sarana dan prasarana (qalam), metode (iqra’), dan kurikulum.

Pendidikan jika dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan (Ghofir, 1993: 25), yang mana dinilai dan diyakini sebagai sesuatu yang paling ideal. Bagi Indonesia tujuan yang ideal itu dicapai melalui sebuah proses dan sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 (2003: 7) : Pendidikan nasional…bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan Islam sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan di atas (Fadjar, 1998: 30).

Akan tetapi kemudian realita di lapangan menunjukkan bahwa dunia pendidikan saat ini pada umumnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat yang antara lain bercorak ateistik, materialistik, dan skeptis. Sehingga kemudian yang terjadi adalah munculnya pola hidup yang bercorak materialistik, hedonistik, individualistik, pola hidup permissive, living together. Landasan filosofis pendidikan yang seperti ini harus segera diperbaiki agar sesuai dengan pandangan hidup Islami dan disesuaikan dengan nilai luhur budaya bangsa Indonesia (Abudin Nata, 2003: 179).

Sehingga sejalan dengan pandangan tersebut, bagaimana Islam sebagai ajaran yang universal dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah nasional, terutama masalah pendidikan dengan berperan aktif dalam rangka membawa dan merawat perkembangan umat manusia.

Demikian strategisnya posisi dan peranan pendidikan, sehingga umat Islam senantiasa concern terhadap masalah tersebut. Sehingga banyak sekali bermunculan lembaga – lembaga pendidikan dengan berbagai macam program yang sampai hari ini masih berkibar, dalam rangka ikut serta mensukseskan pembangunan nsional di bidang pendidikan yang bermuara pada terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam rangka mencapai sebuah hasil yang dicita-citakan dalam dunia pendidikan yang dalam hal ini pendidikan Islam, perlu sebuah kejelasan konsep yang dikonstruksi dari sumber-sumber ajaran Islam, dengan tanpa meninggalkan rumusan para pakar pendidikan yang dianggap relevan yang kemudian konsep tersebut dituangkan dan dikembangkan dalam kurikulum pendidikan (Muhaimin, 1991: 10). Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu Lembaga Pendidikan Islam (Arifin, 2003: 77). Dengan kurikulum akan tergambar secara jelas secara berencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam pendidikan.

Kurikulum sebagai sebuah bangunan atau sistem, tidak bisa lepas dari berbagai komponen yang saling mendukung satu dengan lainnya. Dengan berbagai bagian tersebut akan menghasilkan sebuah bangunan dalam rangka mencapai sebuah titik akhir berupa tujuan yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan Islam.

KOMPONEN KURIKULUM PENDIDIKAN

Sebagaimana dimaklumi bahwa manusia atau binatang sebagai suatu organisme, memiliki susunan atau unsur-unsur anatomi tertentu, dimana yang satu dengan lainnya saling menopang. Demikian halnya dengan kurikulum pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan. Nana Syaodih Sukmadinata (2002: 102) mengidentifikasi unsur atau komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah : tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi, yang kempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.

Lain halnya dengan Tohari Musnamar sebagaimana dikutip Muhaimin (1991: 11), telah mengidentifikasikan dan merinci komponen - komponen yang dipertimbangkan dalam rangka pengembangan kurikulum yaitu: dasar dan tujuan pendidikan, pendidik, materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, sistem evaluasi, peserta didik, proses pelaksanaan (belajar mengajar), tindak lanjut, organisasi kurikulum, bimbingan dan konseling, administrasi pendidikan, sarana dan prasarana, usaha pengembangan, biaya pendidikan, dan lingkungan. Sementara itu Hasan Langgulung (2002: 100)membagi unsur kurikulum menjadi empat yaitu: tujuan pendidikan, isi atau kandungan pendidikan, metode pengajaran, dan metode penilaian. Sedangkan Akhmad Sudrajat mengidentifikasi komponen kurikulum kepada lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi, dimana kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.

Setelah melihat komponen kurikulum yang dikemukanan para pakar tersebut, sebenarnya menurut Muhaimin (1991: 11-12) kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : pertama kelompok komponen-komponen dasar, kedua kelompok komponen-komponen pelaksanaan, ketiga kelompok-kelompok pelaksana dan pendukung kurikulum, dan keempat kelompok komponen usaha-usaha pengembangan.

Dalam pelakasanaannya, suatu kurikulum harus mempunyai relevansi atau kesesuaian. Kesesuaian tersebut paling tidak mencakup dua hal pokok. Pertama relevansi antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi serta perkembangan masyarakat. Kedua relevansi antara komponen-komponen kurikulum.

Komponen Dasar Kurikulum

Kelompok komponen-komponen dasar pendidikan, mencakup konsep dasar dan tujuan pendidikan, prinsip-prinsip kurikulum yang dianut, pola organisasi kurikulum, kriteria keberhasilan pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem evaluasi.

1. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Yang dimaksud sebagai konsep dasar dalam hal ini merupakan konsep dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Dengan adanya dasar, maka pendidikan Islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan atau mempengaruhinya. Kerna fungsinya tersebut, maka yang menjadi dasar tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat tertentu. Begitu pun dengan pendidikan Islam, maka pendidikan Islam mempunyai fundamen yang menjadi landasan tegak berdiri dalam prosesnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Berbicara dasar pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari aliran filsafat pendidikan yang mendasari pendidikan yang diantaranya adalah aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme.

Aliran progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan. Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin, 2003: 41).

Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam?

Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).

Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).

Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.

2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.

3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :

وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون ( الذاريات : 51)

Artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.

Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.

Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).

2. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam

Prinsip pendidikan Islam merupakan kaidah sebagai landasan supaya kurikulum pendidikan sesuai dengan harapan semua pihak. Dalam hal ini Winarno Suracmad sebagaimana dikutip Abdul Ghofir (1993: 31) mengemukakan prinsip kurikulum pendidikan yaitu relevansi, efektivitas, efisiensi, fleksibilits, dan kesinambungan. Nana Syaodih S. (2002: 150-151) menerangkan bahwa prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektifitas.

Sementara itu al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan agama, prinsip universal, keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan dengan segala aspek pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel), prinsip perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan prinsip pertautan antara semua elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).

3. Pola organisasi kurikulum pendidikan Islam

Organisasi kurikulum di sini merupakan kerangka umum program pendidikan yang akan disampaikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa jenis organisasi kurikulum tersebut antara lain subject curriculum merupakan kurikulum yang direncanakan berdasarkan disiplin akademik sebagai titik tolak mencapai ilmu pengetahuan (Abdul Manab, 1995: 24), correlated curriculum yang mencoba mengadakan integrasi dalam pengetahuan peserta didik, integrated curriculum yang mencoba menghilangkan batas-batas antara berbagai mata pelajaran, core curriculum dan lainnya.

Pada dasarnya semua pola organisasi tersebut baik, namun paling tidak dari yang baik tersebut bisa diambil yang paling baik. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan Islam harus integratif, atau setidak-tidaknya korelatif, yang tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan wawasan keagamaan.

Namun yang perlu dimengerti bahwa beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Dari pandangan tersebut, setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

4. Orientasi Pendidikan

Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan kurikulum pendidikan. Dengan orientasi pendidikan akan dapat diambil sebuah kebijakan dalam rangka memproduk out put pendidikan sesuai yang diinginkan. Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend, pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.

5. Sistem Evaluasi Pendidikan Islam

Sistem evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologis, didaktis, serta administrasi atau manajerial.

Dalam evaluasi pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa evaluasi harus bermuara pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif, komprehensif dan harus dilakukan secara kontinyu.

Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena sebagai sosok social being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain.

Komponen Pelaksanaan

Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.

1. Materi pendidikan

Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi pendidikan tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi lembaga pendidikan pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi pendidikan.

Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).

Islam dengan Al Qur’annya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, dimana semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam.

Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber acuannya.

2. Sistem Penyampaian

Sistem penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan dalam menyampaikan materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem penyampaian ini paling minim berkaitan dengan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi, serta pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun materi pendidikan, secara otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang sesuai untuk menyajikan materi pendidikan tersebut.

Sementara itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem pengampaian ini mencakup beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, serta pemanfaatan media pendidikan.

Metode misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses pencapaian tujuan pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan semakin efektif proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam hal ini terlihat betapa pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan (Tafsir, 1999: 34).

3. Proses belajar mengajar (pelaksanaan)

Proses pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta didik belajar selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dan peserta didik dengan lingkungannya.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan / atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah.

4. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar

Dalam pendidikan Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa dapat belajar dari guru dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah juga demikian halnya.

Pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan sebagainya.


Komponen Pelaksana dan pendukung kurikulum

1. Komponen pendidik

Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabby, mursyid,mudarris, dan mu’addib (Muhaimin, 2003: 209-213). Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai mursyid dituntut menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model” atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang.

Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194).

Dilihat dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya serangkaian fenomenalulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).

Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai komponen kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.

2. Peserta didik

Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.

Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.

Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.

3. Komponen bimbingan dan konseling

Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance (bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).

Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan.

Program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).

Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.

Selain komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen lain diantaranya: administrasi pendidikan (manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan dengan orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi), sarana dan prasarana (buku teks, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah), dan biaya pendidikan (sumber biaya dan alokasinya, perencanaan penggunaan biaya, serta sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya) (Muhaimin, 2003: 186-187).

Komponen Usaha-Usaha Pengembangan

Usaha pengembangan yang dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan ketiga kelompok komponen kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam rangka memperbaiki bangunan sistem tersebut.

Realisasi dari adanya usaha pengembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya evaluasi dan inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan kualitas kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dsb.; adanya penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite sekolah; dan terjalinnya keja sama dengan lembaga–lembaga lain baik yang berada di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Abdul Ghofir dan Muhaimin, Pengenalan Kurikulum Madrasah, Solo, Ramadhani, 1993

Abdul Manab, Pengembangan Kurikulum, Tulungagung, Kopma IAIN Sunan Ampel, 1995

Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta, Gama Media. 2002

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2003

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999

Akhmad Sudrajat, Komponen-Komponen Kurikulum, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ bahan-ajar/komponen-komponen-kurikulum/, diakses tanggal 17 Januari 2008

Akhyak (ed.), Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2003

Dewa Ketut Sukardi, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Bandung: Alfabeta, 2003

Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002

H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2003

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004

Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos, 1999

Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta, LP3NI, 1998

Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam : Sebuah Telaah Komponen dasar Kurikulum, Solo, Ramadhani, 1991

——–, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002

Rachman Natawidjaja, Pendekatan-Pendekatan dalam Penyluhan Kelompok, Bandung, Diponegoro. 1987

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung, Citra Umbara, 2003