Dua kebijakan subsidi dilakukan untuk mendukung program ini. Pertama, subsidi bagi petani yang menanam tebu untuk diolah menjadi etanol, sehingga mereka memperoleh pendapatan yang berimbang dengan petani yang tebunya diolah menjadi gula. Kedua, subsidi harga pada stasiun pengisian bahan bakar yang menyebabkan harga jual etanol menjadi lebih murah dari BBM yang berasal dari minyak bumi.
Lambat laun kebijakan tersebut membuahkan hasil. Pemakaian biofuel di Brasil dapat menggeser popularitas pemakaian minyak bumi. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah produksi kendaraan yang menggunakan bahan bakar etanol. Puncaknya terjadi pada tahun 1985 dan 1986 di mana sekitar 75% sepeda motor dan 90% mobil dirancang untuk bisa menggunakan campuran BBM-etanol (Wayan R Susila, 2007). Brasil mampu membuktikan pada dunia, jika ilmu pengetahuan dimanfaatkan secara positif oleh pemerintah, kebijakan itu dapat menyejahterakan kehidupan rakyat. Bagaimana halnya dengan Indonesia?
Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan hujan tropis (rainforest) terbesar di dunia. Beragam jenis tanaman yang berpotensi untuk diolah menjadi biofuel, tumbuh berkembang di negara ini. Selain kelapa sawit dan tebu yang sudah lazim dijadikan biofuel, ada satu jenis tanaman lain di Indonesia yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan bakar, yaitu ganja atau yang dikenal juga sebagai cannabis, marijuana, hemp atau hasish.
Walaupun bukan tanaman asli Indonesia, ganja dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah perbukitan di Aceh. Kualitas ganja Aceh pun sangat terkenal di dunia. Sayangnya, ia diasosiasikan dengan tanaman yang dapat dihisap daunnya dan membuat mabuk penghisapnya. Ia dimasukkan ke dalam kategori narkotika dan penggunaannya dilarang di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Padahal, dalam beberapa dekade terakhir, banyak peneliti di dunia yang telah mengembangkan penelitian tentang pengolahan ganja menjadi bahan bakar. Ayhan Demirbas, pakar energi dari Turki, dalam bukunya, Green Energy and Technology-Biofuels : Securing the Planet’s Future Energy Needs, memasukkan ganja ke dalam daftar oil species for biofuel production. Ia mengungkapkan bahwa senyawa organik yang terkandung di dalam tanaman ganja dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel.
Peneliti lain, Claus Brodersen, Klaus Drescher dan Kevin McNamara, dalam bukunya Economics of Sustainable Energy in Agriculture mengungkapkan bahwa ganja merupakan salah satu tanaman penghasil biomass energy. Kemudian Michael Starks, dalam bukunya Marijuana Chemistry: Genetics, Processing and Potency, menerangkan dengan jelas senyawa organik yang terkandung dalam setiap bagian tanaman ganja. Salah satu bagian tanaman ganja yang berpotensi menghasilkan minyak adalah batang tanamannya.
Pada masa pemerintahan Soekarno, tanaman ganja hanya dianggap sebagai tanaman liar. Baru pada pemerintahan Soeharto, ganja dikategorikan sebagai salah satu jenis narkotika yang dilarang penggunaannya di Indonesia. Kebijakan kriminalisasi ganja yang diambil Soeharto, erat kaitannya dengan kondisi politik domestik dan internasional saat itu. Pemerintah juga aktif mendukung program-program internasional, seperti “war on drugs” yang dicetuskan Amerika Serikat (AS).
Pemerintah AS menggunakan dua konvensi internasional sebagai dasar hukum untuk menekan negara-negara di dunia agar mendukung program tersebut. Pertama, single convention on narcotic drugs (1961) beserta protokol yang mengubahnya. Kedua, convention on psychotropic substances (1971). Keduanya mengatur tentang upaya penanganan peredaran narkotika dan psikotropika di dunia.
Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya melalui UU No 8/1976. Dua puluh tahun kemudian, giliran Konvensi Psikotropika 1971 yang diratifikasi melalui UU No 8/1996.
Pemerintah pun memberlakukan dua peraturan hukum untuk memperkuat kedua konvensi tersebut, yaitu UU No 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No 22/1997 tentang Narkotika. Namun, semenjak kedua pearaturan hukum tersebut diberlakukan oleh pemerintah, peredaran ilegal narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya (NAPZA) semakin merebak di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tindak pidana NAPZA yang terjadi di Indonesia turut pula meningkat jumlahnya. Pemerintah akhirnya merevisi UU No 22/1997 pada tahun 2005 untuk merespons situasi tersebut. Hingga saat ini, rancangan undang-undang narkotika masih terus dibahas oleh DPR.
Pembawa Berkah?
Ganja masih dikategorikan sebagai salah satu jenis narkotika golongan I di dalam RUU Narkotika, sehingga semua kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan tanaman ganja, dikategorikan pemerintah sebagai suatu tindak pidana khusus (delict), karena sifatnya yang tidak memerlukan korban (crime without victim). Sebenarnya, penggunaan ganja masih dimungkinkan untuk tujuan medis dan ilmu pengetahuan. . Namun, sampai dengan saat ini, pemerintah belum mempunyai niat untuk mengembangkan potensi tanaman ini.
Pada saat ini, Indonesia sedang dilanda krisis energi. Kelangkaan dan ketidakstabilan harga BBM merupakan persoalan yang selalu dihadapi rakyat miskin di Indonesia. Persoalan ini juga dirasakan oleh negara-negara lain di dunia. Berkurangnya cadangan minyak bumi dunia merupakan salah satu penyebab.
Dalam situasi sulit seperti itu, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah konkret yang lebih jelas tujuannya, yaitu menyejahterakan rakyat. Tidak hanya menaikkan dan menurunkan harga BBM secara politis sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini. Kebijakan politis seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa.
Belajar dari pengalaman Brasil, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif. Harapannya, ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi dapat teratasi. Tanaman ganja dapat menjadi pilihan.
Pertanyaannya, apakah pemerintah akan terus menganggap ganja sebagai tanaman pembawa malapetaka yang harus dimusnahkan? Atau justru sebaliknya, pemerintah akan menganggap ganja sebagai tanaman pembawa berkah yang harus dibudidayakan dan dikembangkan potensinya?
Oleh : Rido Triawan
Penulis adalah peneliti di Indonesian Coalition for Drug Policy Reform (ICDPR), sebuah koalisi yang dibangun oleh Yayasan STIGMA, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, dan LBH Masyarakat.
(Sumber : http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0903/ 16/opi01. html)
0 komentar:
Posting Komentar