Senin, 30 Maret 2009

Yahoo Gelar Kompetisi Berhadiah Rp230 Juta !


Untuk mengembangkan aplikasi mobile, Yahoo akan menggelar kompetisi para developer di Indonesia bertajuk Yahoo Mobile Developer Award, 4 April mendatang.

Pengembangan aplikasi yang dikompetisikan adalah aplikasi Yahoo di ponsel Java. Menurut Pontus Sonnerstedt, Senior Director Yahoo Indonesia, sebagai persiapan event itu, lalu pihaknya menggelar acara gathering dengan sekitar 200 developer Indonesia di Jakarta.

"Pada acara itu kami memperkenalkan jejaring pengembang Yahoo global, yaitu Yahoo Developer Network," katanya. Pontus juga memperkenalkan Yahoo Blueprint, platform untuk membangun situs mobile, widget-widget, serta aplikasi-aplikasi lain.

Dikemukakan, Yahoo Mobile Developer Award (YMDA) melibatkan tujuh perusahaan sponsor yang hendak beriklan di platform Yahoo. Masing-masing perusahaan menyediakan hadiah sebesar US$10 ribu atau sekitar Rp115 juta bagi pengembang yang terbaik.

Di antara ketujuh pemenang masing-masing kategori, katanya, akan dipilih satu aplikasi terbaik.

"Developer terbaik akan kembali mendapat US$10 ribu, sehingga total hadiah yang diperoleh US$20 ribu atau sekitar Rp230 juta," kata Pontus

Tokoh-Tokoh Terkemuka dalam Dunia Game !

Pada tahun 2008, banyak sosok terkemuka di gaming industry yg berhasil menorehkan namanya dlm sejarah game.Namun untuk tahun 2009, siapakah kandidat terkuat yang bakal memberikan kontribusi terbesar dalam dunia gaming?
2008-Alex Evans

Debut perdana Alex Evans dalam dunia game mulai bersinar ketika menjadi pegawai di Lionhead, dimana ia membantu menciptakan game PC fighter Rag Doll Kung Fu. Ia hengkang dari perusahaan itu untuk menjadi co-founder serta director bagi Media Molecule, dimana hasil karyanya yakni LittleBigPlanet bagi PS3 yang menjadi hit di pasaran. Keunikan yang dimiliki oleh game tersebut membuat LittleBigPlanet menerima banyak pujian serta penghargaan, bahkan mampu menciptakan suatu komunitas raksasa di antara pemainnya. Semua itu tidak terlepas dari pemikiran Evans yang brilian sehingga dirinya mampu menghadirkan suatu permainan yang simpel tetapi unik.

2008-Hideo Kojima
Kojima menjadi salah seorang staff paling berbakat milik Konami dimana namanya melejit di tahun 2008 berkat karya besarnya Metal Gear Solid 4: Guns of The Patriots. Game itu berhasil memukau gamer sekaligus para kritikus berkat kelebihan dalam tampilan visual, gunplay, dan jalan ceritanya. Visinya dalam menciptakan akhir perjalanan Solid Snake dalam game itu sangat brilian sehingga berhasil memuaskan pecinta Metal Gear Solid series. Idenya dalam menggarap online play dalam MGS4, meskipun dipandang setengah jadi, terbukti menjadi salah satu feature menarik.

2008-Shigeru Miyamoto, Satoru Iwata, Reggie Fils-Aime
Kesuksesan yang berhasil diperoleh Nintendo di tahun 2008 merupakan hasil kerja keras 3 petinggi mereka, yakni Shigeru Miyamoto, Satoru Iwata, dan Reggie Fils-Aime. Senjata utama Miyamoto adalah otaknya yang brilian dalam menciptakan berbagai produk menarik, baik dalam bentuk video game dan peripheral yang unik. Sementara Iwata dan Fils-Aime telah bekerja keras dalam mempertahankan kehidupan Wii serta membawanya ke “level” lebih tinggi.

2008-Keiji Inafune
Keiji merupakan salah seorang staff paling penting di Capcom, dimana namanya dikenal sebagai mastermind dibalik kesuksesan franchise Mega Man serta Onimusha. Tidak heran kalau berkat prestasi yang berhasil dicapainya membawa Inafune pada posisi pimpinan divisi Research and Development serta online business. Sementara publisher Jepang lainnya mulai berguguran sewaktu berhadapan dengan dominasi game buatan Barat, Inafune justru mampu membawa Capcom ke arah yang lebih baik melalui produk yang dikembangkan oleh perusahaannya. Kedua produk unggulannya yakni Street Fighter IV dan Resident Evil 5 dipercaya akan mendominasi pasaran di tahun 2009.

2008-Gabe Newell
Gabe Newell adalah pimpinan Valve yang mendominasi digital-distribution space dan mampu mengalahkan game-game Microsoft dalam hal membuat komunitas game. Karya-karya Valve di PC berhasil mengalahkan jumlah komunitas di Microsoft Xbox Live. Meski Newell tidak terlibat secara langsung dalam proses pengembangan produk terbaru Valve, yakni Left 4 Dead, tetapi pengaruhnya mampu membawa game tersebut untuk mencapai kesuksesan. Menurut kabar, ia sedang sibuk mengarahkan proyek terbaru mereka, yaitu Half-Life 2: Episode Three yang diramalkan bakal sukses di pasaran.

2008-Cliff Bleszinki
Tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa Epic Games tidak akan menjadi besar apabila tidak ada bimbingan dari Cliff Bleszinki. Dialah yang menjadi dalang di balik kesuksesan Gears of War dan Gears of War 2. Semua berhasil dicapai berkat konsep permainan yang berada dalam visinya dan seluruh ide kreatif yang terdapat dalam otaknya berhasil dituangkan dalam bentuk permainan yang fresh dan menantang. Tidak heran kalau Gears of War yang dikembangkan oleh Cliff-B dianggap menjadi salah satu game yang dapat mendefinisikan Xbox 360.

2009-Tetsuya Nomura
Dikenal dengan nama “The Zippermaster”, otak dibalik franchise Kingdom Hearts. Sepanjang karirnya, kira-kira sepuluh tahun di Square Enix, dia juga terlibat dalam beberapa game besar Square Enix, seperti Parasite Eve.

2009-George Broussard
Duke Nukem Forever memang memerlukan waktu lama untuk dibuat. Kini kabarnya 3D Realms yang didirikan dan dimiliki George Broussard bakal merilis seri Duke yang terbaru.

2009-Amy Hennig
Amy Hennig menorehkan namanya dalam dunia gaming melalui game Legacy of Kain. Setelah itu, dia menduduki posisi baru sebagai direktur proyek Uncharted: Drake’s Fortune. Tahun ini, mereka bakal merilis seri kedua Uncharted yang mengambil kisah pencarian harta karun Marco Polo.

2009-Grant Collier
Sebagai presiden dari Infinity Ward, Grant Collier memiliki anak buah yang hebat. mereka bisa membuat best-selling game berjudul Call of Duty 4. Sebagai proyek selanjutnya, mereka menggarap game Call of Duty juga dengan sub Modern Warfare 2 yang diharapkan bakal menjaring fans dari seri Modern Warfare dan World at War.

Monster mummies of Japan

Lurking the halls of Buddhist temples and museums across Japan are a host of monster mummies — the preserved remains of demons, mermaids, kappa, tengu, raijū, and even human monks. Here are a few remarkable specimens for the adventurous and brave at heart.

- Demon mummies

It might seem odd that Buddhist temples in Japan house the occasional stray mummified demon (oni), but then again it probably makes sense to keep them off the streets and under the watchful eye of a priest.

Zengyōji (善行寺) temple in the city of Kanazawa (Ishikawa prefecture) is home to the mummified head of a three-faced demon. Legend has it that a resident priest discovered the mummy in a temple storage chamber in the early 18th century. Imagine his surprise.

Triple-faced demon mummy --
Three-faced demon head at Zengyōji temple [Photos]

Nobody knows where the demon head came from, nor how or why it ended up in storage.

The mummified head has two overlapping faces up front, with another one (resembling that of a kappa) situated in back. The temple puts the head on public display each year around the spring equinox.

Demon mummy -- Another mysterious demon mummy can be found at Daijōin temple in the town of Usa (Oita prefecture).

The mummy is said to have once been the treasured heirloom of a noble family. But after suffering some sort of misfortune, the family was forced to get rid of it.

The demon mummy changed owners several times before ending up in the hands of a Daijōin temple parishioner in 1925. After the parishioner fell extremely ill, the mummy was suspected of being cursed.

The parishioner quickly recovered from his illness after the mummy was placed in the care of the temple. It has remained there ever since. Today the enshrined demon mummy of Daijōin temple is revered as a sacred object.

A much smaller mummy — said to be that of a baby demon — was once in the possession of Rakanji Temple at Yabakei (Oita prefecture).

Demon mummy --
Baby demon mummy at Rakanji temple

Unfortunately, the treasured mummy was destroyed in a fire in 1943.

* * * * *

- Mermaid mummies

In Edo-period Japan — particularly in the 18th and 19th centuries — mermaid mummies were a common sight at popular sideshow carnivals called misemono. Over time, the practice of mermaid mummification blossomed into an art form as fishermen perfected techniques for stitching the heads and upper bodies of monkeys onto the bodies of fish.

The mummy pictured below is a prime example of a carnival mermaid. It appears to consists of fish and other animal parts held together with string and paper.

Feejee mermaid gaff --
Mermaid mummy at the National Museum of Ethnology, Leiden

The mummified creature was obtained by Jan Cock Blomhoff while serving as director of Dejima, the Dutch trading colony at Nagasaki harbor from 1817 to 1824. It now resides at the National Museum of Ethnology in Leiden.

Another old mermaid mummy exhibited at a museum in Tokyo several years ago appears to belong to the founder of the Harano Agricultural Museum.

Fiji mermaid gaff --
Mysterious mermaid mummy

The mummy’s origin is unknown, but the collector says it was found in a wooden box that contained passages from a Buddhist sutra written in Sanskrit. Also in the box was a photograph of the mermaid and a note claiming it belonged to a man from Wakayama prefecture.

>>> More mermaid mummies

* * * * *

- Kappa mummies

Like the mermaid mummies, many kappa (river imp) mummies are thought to have been crafted by Edo-period artists using parts of animals ranging from monkeys and owls to stingrays.

Kappa mummy --
Kappa mummy at the National Museum of Ethnology, Leiden (Netherlands)

This mummified kappa, which now resides in a Dutch museum, appears to consist of various animal parts put together in a seamless whole. It is believed to have been created for the purpose of carnival entertainment in the Edo period.

Another mummified kappa can be found at Zuiryūji temple in Osaka.

Kappa mummy --
Kappa mummy at Zuiryūji Temple, Osaka [Photo]

The 70-centimeter long humanoid purportedly dates back to 1682.

Another notable kappa mummy can be seen in a seemingly unlikely place — at a sake brewery in the town of Imari (Saga prefecture).

Kappa mummy --
Kappa mummy at Matsuura Brewery

According to a company brochure, the mummified kappa was discovered inside a wooden box that carpenters found hidden in the ceiling when replacing the roof over 50 years ago.

Reckoning the creature was an old curiosity their ancestors had passed down for generations, the company owners built a small altar and enshrined the kappa mummy as a river god.

>>> Read more about the kappa.

* * * * *

- Raijū

With a limited scientific understanding of the sky above, the common person in Edo-period Japan looked upward with great awe and mystery. Supernatural creatures called raijū (雷獣) — lit. “thunder beast” — were believed to inhabit rain clouds and occasionally fall to earth during lightning strikes.

The earliest known written records of the raijū date as far back as the late 18th century, though the creature appears to borrow characteristics from the nue — a cloud-dwelling, illness-inducing chimera first described in The Tale of the Heike, a 12th-century historical epic.

Details about the raijū’s appearance vary. Some Edo-period documents claim the raijū resembled a squirrel, cat or weasel, while others describe it as being shaped more like a crab or seahorse.

Raiju Raiju
Raijū depicted in the Kanda-Jihitsu (ca. 1800) // Raijū seen in Tottori, 1791

However, most descriptions agree that the raijū had webbed fingers, sharp claws, and long fangs that, by some accounts, could shoot lightning. The beast also sometimes appeared with six legs and/or three tails, suggesting the ability to shape-shift.

One illustrated document tells of a raijū that fell from the sky during a violent storm on the night of June 15, 1796 in Higo-kuni (present-day Kumamoto prefecture).

Raiju
Illustration of raijū encountered on June 15, 1796

Here, the raijū is described as a crab-like creature with a coat of black fur measuring about 11 centimeters (4 inches) thick.

Another notorious encounter took place in the Tsukiji area of Edo on August 17, 1823. Two versions of the incident offer different descriptions of the beast.

Raiju
Raijū encounter, August 17, 1823 - Version 1

One document depicts the raijū as being the size of a cat or weasel, with one big bulging eye and a single long horn, like that of a bull or rhino, projecting forward from the top of its head.

Raiju
Raijū encounter, August 17, 1823 - Version 2

In the other account, the raijū has a more roundish look and lacks the pointy horn.

In Volume 2 of Kasshi Yawa (”Tales of the Night of the Rat”), a series of essays depicting ordinary life in Edo, author Matsuura Seizan writes that it was not uncommon for cat-like creatures to fall from the sky during thunderstorms. The volume includes the story of a family who boiled and ate one such creature after it crashed down onto their roof.

Given the frequency of raijū sightings, it should come as no surprise that a few mummies have turned up.

In the 1960s, Yūzanji temple in Iwate prefecture received a raijū mummy as a gift from a parishioner. The origin of the mummy, as well as how the parishioner obtained it, is a mystery.

Raiju
Raijū mummy at Yūzanji temple

The mummy looks like that of a cat at first glance, but the legs are rather long and the skull has no visible eye sockets.

Raiju
Raijū mummy at Saishōji temple [Photo]

A similar raijū mummy is on display at Saishōji temple in Niigata prefecture.

* * * * *

- Tengu mummy

Another legendary supernatural sky creature is the tengu, a dangerous demon often depicted in art as being part human and part bird. The Hachinohe Museum (Aomori prefecture) in northern Japan is home to a tengu mummy, which is said to have once belonged to Nambu Nobuyori, a Nambu clan leader who ruled the Hachinohe domain in the mid-18th century.

Tengu mummy
Tengu mummy at Hachinohe Museum

The mummy, which appears to have a humanoid head and the feathers and feet of a bird, is believed to have originated in the town of Nobeoka (Miyazaki prefecture) in southern Japan. Theories suggest the tengu mummy made its way north after being passed around between members of Japan’s ruling samurai families, some of whom were deeply interested in collecting and trading these curiosities.

* * * * *

- Self-mummified monks

A few Buddhist temples in northern Japan are home to “living mummies” known as sokushinbutsu (即身仏). The preserved bodies are purportedly those of ascetic monks who willingly mummified themselves in the quest for nirvana.

Self-mummified monk
Shinnyokai-Shonin “living mummy” at Dainichibo Temple (Yamagata prefecture)

To become a living mummy, monks had to undergo a long and grueling three-step process.

Step 1: For 1,000 days, the monks would eat a special diet of nuts and seeds, and engage in rigorous physical training to strip the body of fat.

Living monk
Tetsumonkai-Shonin “living mummy” at Churenji temple (Yamagata prefecture)

Step 2: For another 1,000 days, they would eat only bark and roots in gradually diminishing amounts. Toward the end, they would start drinking tea made from the sap of the urushi tree, a poisonous substance normally used to make Japanese lacquer bowls, which caused further loss of bodily fluid. The tea was brewed with water from a sacred spring at Mt. Yudono, which is now known to contain a high level of arsenic. The concoction created a germ-free environment within the body and helped preserve whatever meat was left on the bone.

Living monk
Arisada Hōin, 300-yr-old “living mummy” at Kanshūji temple (Fukushima)

Step 3: Finally, the monks would retreat to a cramped underground chamber connected to the surface by a tiny bamboo air pipe. There, they would meditate until dying, at which point they were sealed in their tomb. After 1,000 days, they were dug up and cleaned. If the body remained well-preserved, the monk was deemed a living mummy.

Unfortunately, most who attempted self-mummification were unsuccessful, but the few who succeeded achieved Buddha status and were enshrined at temples. As many as two dozen of these living mummies are in the care of temples in northern Honshu.

The Japanese government outlawed the practice of self-mummification in the late 19th century.

>>> More background info on living mummies

Stadswapen van Blitar

da cerita nih dari orang blitar yang moyang-moyangnya pernah dijajah oleh para inlander, usul punya usul cerita yang gue dapet dari copy paste dari : http://blitarkita.com/

BLITARKITA.COM - Stadswapen van Blitar. Lambang Kotapraja Blitar zaman Belanda. Sesantinya, Labor Improbus Omnia Vincit. Artinya, kurang lebih, kerja keras bisa mengatasi segalanya. Ini nyaris sama berapi-apinya dengan jargon kotapraja sekarang, Kridha Hangudi Jaya, yang tafsir resminya begini;

“Semangat Gerak yang timbul dari kita masing-masing untuk berusaha mencari atau mengupayakan segala sesuatu agar berhasil dengan gemilang, dimaksudkan untuk memberi motivasi dan daya penggerak yang lebih dinamis, lebih aktif dalam pelaksanaan pembangunan, baik dan terarah kepada masyarakat guna berpartisipasi, baik dari sumber dana maupun daya yang ada.”

Masih menurut sejarah resminya, lambang itu agaknya baru diubah pada 1930 menjadi seperti foto di samping ini. Padahal, Kotapraja Blitar dibikin hampir seperempat abad sebelumnya, 1 April 1906, yang berarti akan genap berusia 103 tahun, dua pekan lagi.

Walanda membikin Kotapraja Blitar berbarengan dengan 17 kotapraja lain, di antaranya, Batavia atawa Jakarta, Buitenzorg atawa Bogor, Bandung, Cheribon atau Cirebon, Magelang, Semarang, Salatiga, Madiun, Malang, Surabaya dan Pasuruan. Lainnya di luar Jawa.
Sejarah tunggal Kotapraja Blitar menyebutkan, sebagai konsekuensi pembentukan kotapraja itu, pemerintah pusat kolonial Belanda di Batavia kasih subsidi 11.850 gulden per tahun. Seberapa bernilai uang itu di tahun 1906?

Jika mengacu pada nilai uang selusin tahun sebelumnya, subsidi 11.850 gulden itu setara dengan 1040 kali ongkos naik kereta api kelas satu dari Surabaya ke Blitar. Atau setara juga dengan 21 tiket kapal laut sekali jalan dari Batavia ke Belanda via London.

Nah, perhitungan tadi berdasarkan keterangan Capt. Fedor Schulze dalam West Java Travellers Guide from Batavia to Tjilatjap, terbitan Visser & Co, Batavia tahun 1894 dalam foto di atas. Schulze dalam kitab itu melampirkan macam-macam advertensi dari tahun 1893.

Selain harga tiket kereta dan kapal laut tadi, Schulze juga melampirkan advertensi harga sigaret, sampanye, tarif kamar hotel, foto studio, dan lain-lain informasi dari beberapa kota di Nederlandsch-Indie, kini Indonesia.

Lain lagi dengan sesanti Kadipaten Blitar, Hurub Hambangun Praja yang artinya kurang lebih semangat membangun negeri. Ada juga yang mengartikannya sebagai bahu-membahu membangun masyarakat. Kadipaten ini konon berusia 685 tahun pada 5 Agustus nanti. Nanti saja ucapan selamatnya. Sekarang selamat ulang tahun buat Kotapraja Blitar dulu, hartelijk gefeliciteerd!


la disini ku ngambilnya :http://blitarkita.com/

Kampung Mirip Swiss di Blitar, ???????????

ni cerita lain lagi ma cerita sebelumnya hampir-hampir mirip ma ceritanya paris van java to bandung euiy kota kembang gitu. ni cerita juga dari perantau/inlander yang pernah ngejajah bumi patria itu, dari sini lo bro http://blitarkita.com

BLITARKITA.COM - Blitar layak dikunjungi bukan cuma karena ada kuburan Sukarno atau kompleks Palah Panataran yang menjadi penanda keagungan mendiang Majapahit. Blitar juga punya panorama elok yang bahkan digambarkan mirip Swiss di Eropa.

Blitar bagian mana itu?

Tentu bukan Brang Kidul, tlatah atau wilayah di selatan Kali Brantas hingga bibir Laut Kidul yang kini sebagian besar tandus. William Barrington D’Almeida, musafir dari abad 19, mencatat kampung elok mirip Swiss itu dalam kitab Life in Java: with sketches of the Javanese, volume1, terutama kaca 298. Kitab ini diterbitkan Hurst and Blackett, London tahun 1864.

“… and at Tologo, three paals distant from Panatharan, there is a Swiss-looking village surrounded by mountains, with the ruins of an ancient temple close to the margin of a small lake,” tulis William Barrington.

Tologo?
Kampung yang dikepung gunung?
Jaraknya tiga pal dari Penataran?
Ada reruntuhan candi kuno di pinggir danau yang mungil?

Apakah Tologo itu mengacu pada umumnya telaga atau memang nama sebuah wilayah? Lebih susah ditebak lagi terutama karena William Barrington memakai satuan jarak yang kini tak lazim digunakan; paals. Tapi tunggu, ada dua petak tanah cekung dengan air bening dekat Penataran. Satu persis di belakang candi, satunya lagi agak ke utara, kini berada di pinggir jalan beraspal. Sama-sama ada reruntuhan candi kuno di kedua titik itu.

Tapi, aduh, keduanya kurang tepat disebut lake, telaga atau danau. Keduanya lebih sebagai bathing place. Tempat yang mungkin dulu digandrungi bangsawan-bangsawan ayu dengan betis aduhai layaknya Ken Dedes dari Tumapel, yang membuat preman ndeso Ken Arok mabuk kepayang hingga nekat coup d’état atas Akuwu Tunggul Ametung.

Untunglah, paals atau pal disebut juga oleh William Barrington untuk menggambarkan jarak antara pusat Blitar dengan Penataran. Ia meriwayatkan, “From here it is but nine paals further to Panatharan, where are to be seen many tombs of old kings and chiefs, some of which are well worth a visit.”

Jika demikian, dari Penataran ke kampung-seperti-Swiss itu sebanding dengan sepertiga perjalanan dari Blitar ke Penataran. Besar kemungkinan ke arah yang mendekat lembah Kelud. Mungkinkah telaga pada foto itu? Putri dari lembah Kelud mungkin bisa jadi juru terang soal ini.

Apapun, William Barrington adalah musafir yang sudah berjasa menjual ‘kecap Blitar’. Katanya pula, Blitar bisa ditempuh dari Kediri dalam tempo kurang dari satu hari. Pergi ke Blitar disebut sebagai pelesir yang akan bikin senang siapapun yang gandrung pemandangan cantik. Penduduknya juga menyenangkan. Dari Blitar kota, pemandangan Kelud dan Krisik membentuk panorama yang bagus.