Selasa, 28 Oktober 2008

Fitna Merobek Pita Toleransi


04-April-2008

Film Fitna karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, menyulut beragam kontroversi. Kecaman pun mengalir, bahkan sejumlah aksi demonstrasi digelar. Republika berkesempatan berbincang dengan Dubes Belanda untuk Indonesia dan Timor Leste, Dr Nikolaos van Dam, di ruang kerjanya, di Jakarta, Kamis (3/4). Peraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam ini mengaku hafal 15 surat dalam Alquran. Ia juga sempat melantunkan penggalan surat Alzalzalah. Muslim Indonesia, katanya, harus banyak mengingat kandungan surat tersebut, terkait maraknya bencana alam. Berikut petikan wawancara dengan van Dam.

Bisa Anda jelaskan latar belakang kebijakan Pemerintah Belanda yang menolak film Fitna karya Geert Wilders?
Di Belanda ada tradisi kebebasan berpendapat, namun tak berarti bisa diterapkan dalam semua hal. Ada batasannya. Ini berarti kebebasan berpendapat itu harus juga menghormati pendapat, kebudayaan, dan agama lain agar semua bisa hidup secara damai.

Sebelum film itu diluncurkan, Pemerintah Belanda menyadari film itu bisa menyebabkan timbulnya masalah, baik di Belanda maupun di luar negeri. Meski saat itu kami belum tahu isi film tersebut karena Geert Wilders tak bersedia mengungkapkannya.

Bila membandingkan film Submission karya Theo van Gogh dengan Fitna karya Wilders, Pemerintah Belanda menyikapinya secara berbeda. Mengapa?
Pertama, baik Submission maupun Fitna bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam. Perbedaannya, pembuat Fitna adalah anggota parlemen yang menggunakan film ini untuk meraih dukungan politik dalam negeri. Jadi, itu lebih banyak menentang Islam, Alquran, serta surat tertentu dalam ayat Alquran.

Sedangkan Submission menceritakan mengenai kesulitan anggota masyarakat Islam atau dalam keluarga di mana perempuan ditempatkan secara rendah. Khususnya penghinaan itu lewat penggambaran ayat Alquran ditulis di atas badan seorang perempuan. Dalam Fitna, secara umum menghinakan Islam dan menggambarkan bahwa Islam mengajak pada kekerasan. Tapi, Pemerintah Belanda sebagian besar menolak pendapat bahwa Islam menyebabkan kekerasan seperti serangan WTC atau bom Madrid.

Dalam setiap masyarakat ada ekstremis, baik di masyarakat Masehi (Kristen--Red), Islam, Budha, dan masyarakat lain di seluruh dunia. Sebaliknya, ada pula kelompok yang moderat. Namun yang biasa terjadi, ada individu yang memiliki pendapat mengenai suatu agama.
Sebetulnya Pemerintah, sebagian besar parlemen, kelompok masyarakat yang penting, maupun media Belanda berada pada pihak yang sama dengan masyarakat Indonesia.

Sudah berapa kali unjuk rasa terhadap Kedubes Belanda di Jakarta dilakukan?
Ada beberapa unjuk rasa di depan Kedubes Belanda di Jakarta, juga Konjen Belanda di Surabaya dan Medan. Kalau mereka memberikan pesan kepada Pemerintah Belanda, kami akan menyampaikannya. Tapi, dalam kasus film Fitna ini, pesan harus disampaikan kepada kelompok kecil sekali yang memang bertanggung jawab atas publikasi film Fitna ini, yaitu Wilders dan partainya (Freedom Party).

Namun, sebenarnya mereka berunjuk rasa terhadap pihak yang memiliki pendapat sama, yaitu kami menolak film itu. Jadi, kalau unjuk rasa diarahkan kepada Pemerintah Belanda sebenarnya itu kurang tepat.

Bagaimana sikap Anda terhadap unjuk rasa tersebut?
Saya berusaha menjelaskan yang sebenarnya terjadi di Belanda. Saya selalu menyukai dialog karena upaya saling membuka diri lebih baik. Lebih baik berdialog daripada mereka berada di luar dinding Kedubes Belanda, sedangkan saya berada di dalam. Namun kami menggarisbawahi, perbedaan pendapat tak bisa menjadi pembenaran adanya kekerasan.

Anda berdialog dalam bahasa Indonesia?
Bahasa Arab. Mereka ada yang menggunakan bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa Inggris, tapi saya selalu menjawabnya dengan bahasa Arab. Bagi saya, bahasa Arab lebih mudah dibanding bahasa Indonesia. Jadi, dalam bahasa Arab itu ada beberapa tingkatan, seperti bahasa sehari-hari, bahasa resmi, dan bahasa yang paling tinggi. Bahasa Alquran itu bahasa yang paling tinggi.

Menurut Anda, apakah keluarnya film Fitna ini akan mengganggu dialog antarkeyakinan yang selama ini didorong Pemerintah Belanda?
Tidak. Semestinya, kita tidak terperangkap oleh film ini. Karena, sebenarnya film ini tak bermanfaat bagi siapa pun. Film ini juga menyebabkan masalah antara pihak berhaluan ekstremis dan moderat. Mungkin pembuat film (Wilders) dan pendukungnya menggambarkan film ini akan memberikan manfaat. Namun, sebagian besar menolak pemikiran Wilders, untuk menghindari konfrontasi dan polarisasi.

Pemerintah Indonesia mencekal Wilders bila datang ke Indonesia, bagaimana pendapat Anda?
Seandainya Pak Wilders bertanya kepada saya, apakah perlu mengunjungi dunia Islam, pertama saya akan menasihati untuk tidak berkunjung ke dunia Islam. Karena, caranya berdialog lebih menekankan cara konfrontasi dan polarisasi. Jadi, lebih baik bagi dia untuk tetap tinggal di Belanda (van Dam pun tersenyum).

Bagaimana popularitas Wilders di Belanda saat ini?
Saya tak bisa membayangkan dengan langkahnya yang negatif, tempatnya di parlemen tak didukung oleh kelompok lain, kecuali oleh partainya sendiri.

Anda fasih berbicara bahasa Arab, sudah berapa lama Anda bertugas di negara-negara Timur Tengah?
Saya sudah 44 tahun. Saya mulai hidup di dunia Arab sejak 1964. Di Lebanon, Suriah, Mesir, Irak, Turki, maupun Libya. Jadi, ada sedikit pengalaman berinteraksi dengan masyarakat Islam.

Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat Islam Indonesia?
Masyarakat Indonesia, baik Muslim dan pemeluk agama lainnya, sangat moderat. Menurut saya, tak tergantung pada agama sendiri, tapi juga adat atau kultur. Karena itu, tak bisa berbicara mengenai Islam moderat dan ekstremis, namun yang lebih tepat adalah orang ekstremis dan moderat.

Bisa Anda ceritakan masyarakat Muslim di Belanda?
Dulu di Belanda, kami tidak bicara mengenai latar belakang agama, apakah Muslim atau bukan. Yang penting bagi kami saat itu adalah identitas dan asal negara mereka seperti Maroko, Turki, atau Suriname. Namun, sekarang agama memainkan peran lebih banyak karena masalah sosial diterjemahkan melalui kanal agama. Meski ini tak ada kaitannya.

Kalau membaca statistik mengenai pengangguran, ada lebih banyak dari Maroko. Namun, itu tidak ada kaitan dengan Islam. Jadi, itu menunjukkan latar belakang lebih menjadi pertimbangan, bukan karena agamanya. Di Belanda ada sekitar 400 masjid, sama saja seperti halnya di negara lain yang memiliki komunitas Muslim. Hanya mungkin yang berbeda soal adzan, tidak seperti di sini.

Oya, ada berapa bahasa yang Anda kuasai?
Lima setengah ... (sambil tertawa). Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, dan yang setengah bahasa Indonesia ....

Apa hobi yang Anda lakukan selama di Indonesia?
Saya senang sekali berjalan-jalan ke daerah dengan pemandangan yang indah seperti Puncak. Sayangnya, sering ada masalah dengan kemacetan. Selama di Indonesia saya sudah mengunjungi 24 daerah dari Sabang sampai Jayapura. Kalau setiap hari saya mengunjungi satu pulau di Indonesia, maka baru akan selesai dalam waktu 49 tahun.

Anda suka makanan Indonesia?
Ya, saya suka sekali. Malah lebih suka dibanding makanan Belanda. Makanan yang saya sukai sate, nasi goreng, juga nasi rames. Saya suka sambal terasi, apalagi dimakan dengan kerupuk. fer/yyn

Sumber: Republika, 4 April 2008

0 komentar: